RAYUAN PULAU KELAPA

Dulu, masih ingat, sebelum minyak kelapa sawit masuk ke dapur kita, orang tua kita lebih sering menggunakan minyak kelapa (kletik) untuk memasak. Aroma harum minyak kelapa asli itu selalu hadir dalam setiap hidangan, membuat nasi goreng, sayur lodeh, hingga ikan goreng terasa lebih gurih dan istimewa. Pada masa itu, hampir di setiap rumah, kelapa adalah bagian penting dari kehidupan, bukan hanya bahan pangan, tetapi juga lambang kearifan lokal. Bahkan dulu, dengan kelapa kita bisa membeli tanah, membangun rumah, bahkan membeli senjata—kelapa membuat kita kaya.

Sumber " https://agri.kompas.com/

Namun kini, kelapa yang dulu melimpah ruah seolah menjadi barang mewah. Harga kelapa di pasar melonjak tinggi, membuat banyak keluarga harus berpikir ulang untuk menggunakannya dalam masakan sehari-hari. Ironisnya, di saat yang sama, Indonesia—negeri seribu pulau yang berjajar dengan pohon kelapa—justru mengekspor kelapa ke luar negeri. Sebuah kenyataan yang terasa pahit, mengingat kelapa seharusnya menjadi kekuatan kita, bukan komoditas yang harus bergantung pada negara lain.

akibatnya bukan hanya soal perdagangan, tapi juga cermin betapa rapuhnya perhatian kita terhadap pertanian lokal. Alih-alih memperkuat petani kelapa di dalam negeri, kita malah membuka pintu untuk produk luar, yang pada akhirnya memukul harga kelapa lokal. Petani kecil yang selama ini bertahan dengan pohon-pohon kelapa warisan leluhur mereka, kini harus menghadapi kenyataan bahwa harga jual kelapa tidak sebanding dengan jerih payah mereka. Sementara itu, di sisi lain, konsumen harus membayar lebih mahal untuk produk yang seharusnya mudah diakses. Lucu, bukan?

Di tengah kondisi ini, minyak kelapa asli—yang dulu menjadi kebanggaan dapur Indonesia—semakin sulit dijangkau. Banyak yang beralih ke minyak sawit bukan karena pilihan rasa, melainkan karena tekanan harga. Perlahan, budaya memproduksi minyak kelapa sendiri memudar. Hanya beberapa sentra pengolahan minyak kelapa, seperti yang banyak ditemukan di daerah Jawa Tengah, yang masih bertahan. Minyak kelapa yang jauh lebih sehat dan membuat masakan menjadi gurih perlahan tergantikan oleh produk-produk instan yang lebih praktis namun mengikis kekayaan rasa dan nilai tradisional.

Padahal, manfaat minyak kelapa atau bahkan santan kelapanya yang biasa dibuat untuk masakan sangat baik untuk kesehatan tidak perlu diragukan lagi. Kandungan asam lauratnya dipercaya membantu meningkatkan imunitas tubuh, menjaga kesehatan jantung, dan merawat kecantikan kulit serta rambut. Di banyak daerah, minyak kelapa bahkan menjadi bagian dari pengobatan tradisional dan perawatan kecantikan alami. Setiap tetesnya menyimpan kebaikan yang lahir dari hubungan harmonis manusia dan alam.

Kondisi ini menjadi alarm bagi kita semua. Sudah saatnya kita kembali melihat kelapa sebagai anugerah, bukan sekadar komoditas. Mendukung petani lokal, memilih produk minyak kelapa asli, dan menghargai hasil bumi sendiri adalah langkah kecil yang bermakna besar. Dengan kembali mencintai kelapa Nusantara, kita bukan hanya menjaga budaya dan kearifan lokal, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan dan ekonomi bangsa.

Rayuan pulau kelapa hari ini bukan lagi sekadar nostalgia masa lalu. Ia adalah seruan untuk kembali sadar, kembali peduli, dan kembali membangun hubungan yang adil antara manusia, budaya, dan alam. Di tengah derasnya arus globalisasi, kelapa tetaplah simbol ketahanan dan harapan. Semoga kita tak hanya mendengarkan rayuannya, tapi juga menjawabnya dengan tindakan nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar